-->

Menggugat Ketidakadilan

Balada Warga Tapal Batas




Suara ingin bergabung ke Kota Taman kembali disuarakan warga yang berada di perbatasan Bontang-Kutim. Ada 4 desa yang mengaku ingin menjadi bagian dari Bontang. Yakni Desa Suka Rahmat, Suka Damai, Danau Redang dan Desa Martadinata. Isu soal tapas batas praktis menjadi isu seksi yang kembali mencuat menjelang Pemilihan Kepala Daerah.


Nama Kadir boleh jadi menjadi nama yang paling kontroversi di era 2000-an. Dirinya pernah ditahan oleh pihak aparat gara-gara membakar kantor desa di Kutai Timur. Alasannya memang sederhana. Tetapi ulahnya membakar bisa jadi dibilang menjadi masalah lama dengan penyelesaiannya juga lama. 

“Waktu itu saya menutut demo. Kami ingin masuk ke wilayah Bontang. Karena daerah kami yang tempati sekarang ini memang harusnya wilayah Bontang. Ini kok malah masuk Kutim,” kata Kadir. 

Aspirasi inilah yang kembali mencuat. Ditemani warga lainnya, Kadir kembali meminta Pemkot bisa berjuang untuk memasukkan 4 desa ini masuk ke Bontang. Kata dia, ada 4 ribu KK yang siap masuk ke Bontang. Desa itu adalah Suka Rahmat, Suka Damai dan Danau Redang. Sementara, 2ribu KK lainnya di Desa Martadinata juga punya keinginan yang sama. Desa yang biasa disebut dengan Sidrap.

Ingin bergabung ke Bontang kata Kadir bukanlah alasan tanpa sebab. Banyak faktor yang harusnya bisa menjadi perhatian dari Pemkot agar bisa memperjuangkan keinginan ribuan warga di perbatasan. 

Kadir beranggapan, jika hanya Sidrap yang diperjuangkan agar masuk Bontang itu tidak adil. Kata dia, daerah perbatasan lain yang menyatakan ingin masuk ke Bontang juga merembet ke daerah jalan poros hingga jembatan Santan.
“Secara histori, mulai dari jalan poros hingga jalan di dekat jembatan Santan itu wilayah Bontang. Ini kok malah masuk Kutim,” urainya. 

Penderitaan tak ada kejelasan di daerah perbatasan memang membuat warga di sana terombang-ambing.Runtunan masalah administrasi menjadi persoalan yang acap kali mereka hadapi. Domisili boleh di Kutim. Tapi kata dia, kebanyakan warga di sana justru mengantongi KTP Bontang. “Kami ini terhambur. Rumah saya di Kutim, tapi KTP saya di Bontang. Pun dengan teman saya ini. KTP dia justru di keluarkan Kecamatan Bontang Selatan. Semua warga begini semua. Kami maunya masuk Bontang,” ungkapnya. 

Yang lebih ironis lagi jika sudah memasuki pesta demokrasi. Pemandangan sepinya pemilih di daerah mereka menjadi pemandangan yang sering kali ditemukan. Kejadian ini bukan tanpa alasan. Karena jika sudah memasuki Pilkada ataupun Pileg, para warga perbatasan justru berhamburan di TPS yang ada di Bontang. TPS yang mendaftarkan nama mereka masuk di DPT. “Jadi ya kami terpencar di TPS Bontang. Tergantung KTP kami. Kalau KTP saya alamatnya di Berbas, ya saya harus nyoblos di Berbas,” jelasnya. 

Maka dari itu, Kadir berharap, persoalan perbatasan bisa diselesaikan secepat mungkin. Kata dia, pemerintah harus mengambil langkah tegas. Langkah hukum dengan mengajukan Judical Review ke Mahkamah Konstitusi menjadi opsi terakhir.
“Tidak perlu lagi lobi-lobi. Ini opsi terakhir ya harus langkah hukum. Revisi UU pemekaran wilayah yang mengatur perbatasan Bontang-Kutim,” tegasnya. 

Namun keinginan warga di perbatasan sepertinya bakal menuai jalan terjal. Pasalnya, sinyal untuk memasukan sebagian daerah Kutim masuk ke wilayah Bontang bakal tertutup. Hal itu terungkap pada saat  rombongan DPRD Kaltim berdialog langsung kepada masyarakat setempat di meeting room Oak Tree Hotel, Jalan Arief Rahman Hakim, Kelurahan Belimbing, Kecamatan Bontang Barat. 

Rombongan yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Kaltim Henry Pailan itu diikuti Pemprov Kaltim, Pemkot Bontang, DPRD Bontang, serta Pemkab Kutim ini pun melibatkan perwakilan tujuh RT di Sidrap.
Wakil Ketua DPRD Kaltim Henry Pailan justru meminta, masalah tapal batas tidak lagi dibahas dalam forum itu. Fokus yang penting adalah membicarakan kerja sama yang bisa dibangun kedua belah pihak antara pemkot dan pemkab. 

“Jangan lagi masalah tapal batas dibahas, kita fokus kepada kerja sama kedua pemerintah daerah ini. Kasihan warga di sana selalu menjadi ‘kambing hitam’ di Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah, Red.),” urai politisi Gerindra asal Bontang ini. 

Kata Henry, rapat sepakat ada time-frame agar masalah di Sidrap cepat selesai. Henry meminta dengan tegas, pemkab, pemkot, dan pemprov harus serius dan aktif melakukan upaya agar Memorandum of Understanding (MoU) segera ditandatangani. Apalagi draf kesepakatan kerja sama itu sudah lama tertuang tapi belum disepakati kedua belah pihak. 

Kerja sama itu meliputi bidang pendidikan, kesehatan, perhubungan, perikanan dan kelautan, serta sumber daya alam (SDA) dan konservasi. 

“MoU ini sudah ada sejak 2008 yang diajukan Pemkab Kutim. Nah sekarang tugas bersama untuk merealisasikannya,” imbuh Henry. 

Henry menegaskan, DPRD Kaltim akan memasang target. Dalam jangka waktu sebulan, MoU itu sudah ditandatangani kedua kepala daerah. Pekan pertama, lanjut Henry, draf MoU disusun. Pekan kedua, DPRD Kaltim akan berkonsultasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pekan ketiga, finalisasi draf MoU. Lalu di pekan keempat, penandatanganan MoU oleh dua kepala daerah. 

“Kami menargetkan sebulan bisa selesai. Kalau masalah anggaran dari kedua pemerintah daerah tidak bisa diterbitkan, kami akan menganggarkannya melalui dana Pemprov Kaltim,” jelas Henry. 

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan Pemkot Bontang M Bahri mengatakan, masalah tapal batas antara Kutai Timur dan Bontang --khususnya di Sidrap-- masih menjadi polemik berkepanjangan yang belum tuntas hingga kini. 

Secara administratif, wilayah seluas 1.950 hektare yang dihuni 3.570 jiwa itu masuk dalam Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kutim. Tapi sebagian besar warganya justru lebih banyak yang mengantongi kartu tanda penduduk Bontang. Bahkan beberapa sekolah di sana ada yang dibangun pemkot. 

“Ini harus dicarikan solusi agar ribuan warga di Sidrap bisa mendapatkan pelayanan maksimal. Karena mereka (warga Sidrap, Red) adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak sama soal kesejahteraan,” papar Bahri. 

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Bontang, Agus Haris menyatakan, permasalahan ini sudah berlangsung selama 15 tahun. Dalam kurun waktu itu, sudah banyak yang dilakukan kedua belah pihak. Mulai dari meminta jalan penyelesaian dari provinsi hingga pusat. Namun, sayangnya, hingga kini belum mendapat hasil. 

“Bupati Kutim pernah melayangkan surat yang intinya mempersilahkan kepada Pemkot Bontang untuk membantu memberikan pelayanan kepada masyarakat Sidrap,” kata Agus. 

Namun, DPRD tidak berani memasukan wilayah itu ke dalam anggaran Bontang karena berpotensi memicu masalah hukum. "Tapi intinya, masyarakat Sidrap berjumlah ribuan yang tersebar di 7 RT itu, menginginkan bergabung ke Bontang karena hampir seluruh aktivitasnya dilakukan di Bontang. Termasuk urusan pekerjaan," pungkasnya. (Ali Akbar)

0 Komentar untuk "Balada Warga Tapal Batas"

Back To Top