-->

Menggugat Ketidakadilan

Godaan Uang di Proyek Kenyamukan




KORUPSI pembebasan lahan proyek pembangunan Pelabuhan Kenyamukan, Sangatta Utara, Kutai Timur (Kutim) mulai bergulir di Pengadilan Tipikor Samarinda. Tiga dari empat tersangka yang ditetapkan Unit Tipikor Polda Kaltim telah duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Samarinda, (25/3) lalu.

Ketiganya adalah Ardiansyah selaku kepala Dinas Pengendalian Lahan dan Tata Ruang (PLTR) Kutim, Herliansyah sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dan Kasmo selaku kades Sangatta Utara yang juga tergabung dalam tim pengadaan lahan.

Sementara Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kutim Ismunandar yang juga ditetapkan tersangka oleh Polda Kaltim, belum dapat dilimpahkan. Karena berkas pemeriksaannya masih P-19 alias belum lengkap. “Untuk berkas Ismunandar memang belum karena masih P-19. Yang jelas kami masih menunggu Polda melengkapi kekurangan yang ada,” terang Agus Tatang Volleyantoro, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kaltim tanpa menjelaskan pertimbangan Kejati mengembalikan berkas tersebut ke Polda Kaltim.

Kembali ke Pengadilan Tipikor Samarinda, ketiga terdakwa yang menjalani sidang perdana pada (25/3) lalu. Didakwa penuntut umum Iqbal dan Agus Supriyatna dengan tiga pasal. Yakni, pasal 2, pasal 3 dan pasal 9 UU Nomor 31/1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jonto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Dalam dakwaan, kasus ini bermula pada 22 Januari 2010. Saat itu, Dinas Perhubungan Kutim mengajukan usulan pembangunan Pelabuhan Kenyamukan, Sangatta Utara. Dari usulan itu, Dinas PLTR menetapkan lahan sekitar 100 hektare di Desa Sangatta Utara sebagai lokasi pembangunan Pelabuhan Kenyamukan dan fasilitas pendukung lainnya yang nantinya pembebasan lahan terbagi menjadi dua tahapan. Setahun kemudian, tanggal 1 Februari 2011 Dinas PLTR akhirnya memulai pembebasan lahan tahap I seluas 25 hektare. 

Lantas pada 23 Maret 2011, dibentuklah tim pengadaan tanah yang diketuai Ismunandar (sekkab) dan Ardiansyah selaku sekertaris tim pengadaan tanah. Sebelumnya, Ardiansyah selaku Kadis PLTR telah menunjuk Herliansyah sebagai PPTK. Berselang empat bulan, inventarisasi dan identifikasi lahan dimulai. Sebanyak 20 orang termasuk Herliansyah menginventarisasi tanah, tanam tumbuh, dan bangunan pada lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya. 

“Namun, inventarisasi itu hanya dilakukan di sekitar tambak milik warga tanpa mendata lahan dekat bibir pantai yang banyak ditumbuhi mangrove,” ucap Jaksa Penuntut Umum Agus ketika membacakan dakwaan di hadapan majelis hakim yang diketuai Hongkun Otoh.

Dari data pengukuran itu, mulailah diadakan rapat penilai harga lahan dengan acuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tahun 2008 di wilayah tersebut. Disepakati harga ganti rugi lahan yang berstatus hak milik (SHM) sebesar Rp 50 ribu hingga Rp 80 ribu meter persegi. “Sementara itu, untuk lahan yang berstatus segel/SPPTP/PPAT sebesar Rp 40 ribu hingga Rp 70 ribu meter persegi,” giliran Penuntut Umum Iqbal membaca dakwaan.

Mengantongi harga ganti rugi lahan, negosiasi ke warga pun mulai dilakukan. Pada 31 Oktober 2011 pemilik lahan dan tim pengadaan tanah sepakat melakukan ganti rugi. Untuk lahan kosong sebesar Rp 30 ribu meter persegi dan sebesar Rp 64.300 meter persegi untuk lahan yang sudah dibangun tambak. Namun, harga tersebut belum termasuk lahan tanam tumbuh dan bangunan. Sebulan kemudian, dana ganti rugi lahan cair sebesar Rp 3 miliar. “Sebanyak 67 pemilik lahan menerima ganti rugi lahan. Baik yang memiliki SHM, SPPTP, SKPBB/TDTN dan SK/PPAT,” lanjut Iqbal membaca.

Tapi, sebagian SPPTP yang terbit di wilayah Kenyamukan justru baru terbit di tahun yang sama dengan pembebasan lahan 2011. “Terdakwa Kasmo selaku kades Sangatta Utara yang juga tergabung dalam tim pengadaan tanah melakukan pemunduran tanggal terbitnya 31 buah SPPTP. Sehingga, seolah-olah SPPTP tersebut terbit di 2010,” ungkap Agus kembali membaca.

Selain itu, timbul kecurangan dalam ganti rugi lahan tahap I ini. Andi Ashar misalnya, salah satu pemilik lahan di lokasi tersebut tak pernah menerima ganti rugi lahan sebesar Rp 54.725.000, seperti yang tercantum dalam bukti pembayaran ganti rugi lahan. 

Tak hanya Andi Ashar, Siti Hartati pun menerima ganti rugi lahan yang tak sesuai. “Saksi Siti Hartati hanya menerima ganti rugi lahan sebesar Rp 15 juta. Sementara yang tertera dalam bukti pembayaran ganti rugi lahan tahap I sebesar Rp 31.218.000,” lanjutnya.

Selanjutnya, pada Agustus 2012 anggaran sebesar Rp 9 miliar cair lagi untuk merealisasikan ganti rugi lahan tahap II. Kali ini, jumlahnya bertambah 17 penerima. Hal ini karena ada beberapa pemilik lahan yang belum menerima ganti rugi lahan di tahap I. Masalah pun kembali timbul dalam pembayaran ganti rugi lahan untuk proyek pembangunan pelabuhan Kenyamukan ini. Djohan, salah satu pemilik lahan hanya menerima ganti rugi Rp 60 juta. “Namun, namanya juga tertera dalam ganti rugi lahan di tahap I sebesar Rp 264 juta. Yang di mana saksi Djohan tak pernah sama sekali menandatangani bukti pembayaran ganti rugi lahan tahap I,” ungkapnya.

Atas perbuatan ketiga terdakwa ini, negara pun dirugikan sebesar Rp 6.025.909.860. Angka itu terdiri dari pembayaran yang tak sesuai di tahap I sebesar Rp 1.444.054.650 dan sebesar Rp 4.581.855.210 di tahap II. (Robayu, Samarinda)
0 Komentar untuk "Godaan Uang di Proyek Kenyamukan "

Back To Top