Sudah sembilan bocah meninggal di lubang maut bekas
galian tambang batu bara di Samarinda. Lubang galian tambang yang tak
direklamasi, menjadi sangat menarik bagi anak-anak untuk bermain. Warnanya yang
hijau, dan aroma belerang seperti menggoda untuk dijadikan wahana renang
gratisan. Tapi sayang, lubang-lubang cantik itu, ternyata tidak seperti yang
dibayangkan.
Sudah 9 bocah tewas dan berpotensi bakal bertambah, apabila
lubang-lubang tambang yang tersebar di areal permukiman warga tak segera
direklamasi. Hilangnya nyawa anak-anak ini seolah menjadi fenomena “kasus
biasa” di Kota Tepian, lantaran tidak pernah ada pihak yang dihukum serius secara
pidana maupun perdata, baik dari pemilik tambang, pengelola, hingga instansi terkait
sebagai penanggung jawab.
Sebagai penegak hukum, aparat Kepolisian Resor Kota
(Polresta) Samarinda, adalah tumpuan akhir keluarga korban untuk mencari
keadilan. Sayangnya, tiap kali terjadi musibah yang menewaskan anak-anak di
lubang tambang, polisi disebut-sebut sekadar bertugas sebagai mediator yang
mendamaikan keluarga korban dengan pihak perusahaan tambang. Sebab sejak 3
bocah tewas di Sambutan medio 2011 silam hingga kasus terakhir bulan lalu di
Sempaja, tak satu pun pihak terkait yang diseret ke penjara.
Disambangi di Makopolresta Samarinda, Kapolresta Kombes
Pol Antonius Wisnu membantah anggapan tersebut. Menurut mantan kabid Humas
Polda Kaltim ini, sebagai aparat kepolisian, pihaknya harus menaati aturan
hukum dan membuktikan tindak pidana yang menyebabkan kematian seseorang. “Itu
tidak benar, polisi bukan pihak mediator. Ya, sekali lagi, pernyataan itu tidak
benar,” tegasnya.
Dalam hal ini, lanjut dia, hukumnya wajib bagi polisi
untuk membuktikan kasus yang diduga mengandung unsur pidana atau tidak.
“Manakala dalam suatu kasus ada tindak pidananya, polisi juga harus bisa
membuktikan unsur-unsur dari pasal yang diduga atau yang dipersangkakan pada
yang bersangkutan. Jadi semua harus dibuktikan, dan polisi wajib membuktikan,”
jelasnya.
Disinggung masalah 8 kasus bocah tewas di lubang tambang yang
diusut kepolisian sebelumnya, Wisnu mengungkap ada satu kasus yang masuk dalam
ranah kejaksaan. Diketahui, kejadian itu pada 24 Desember 2011, polisi
menetapkan M Yusuf Ambo Rape, sebagai tersangka dalam kasus kelalaian. Namun
sayang, polisi hanya menegaskan jika Ambo Rape adalah pihak perusahaan PT
Panca Prima Mining dan
enggan membeber lebih detail siapa sebenarnya Ambo Rape.
“Dari delapan itu (kasus kematian di lubang tambang, Red)
ada yang sudah P21 dan masuk JPU. Kasus itu terjadi tahun 2011 dan menetapkan
Ambo Rape sebagai tersangka,” sebutnya.
Disinggung soal berkas itu, Wisnu membenarkan jika berkas
tersangka sering bolak-balik Polresta dan Kejaksaan. “Memang benar berkasnya bolak-balik,
berkas itu ‘kan dari jaksa peneliti. Jadi kalau melihat berkas belum lengkap,
ya dikembalikan lagi. Dan sebagai polisi, kita wajib melengkapi
kekurangan-kekurangan itu,” jelasnya.
Selain itu, Wisnu juga mengerahkan Kasat Reserse untuk
untuk mengumpulkan semua kejadian-kejadian yang kemungkinan di rekam
masyarakat. Baik kasus yang ditangani Polsek maupun Polres. “Ya makanya saya
bilang ke Kasat Reserse utnuk mengumpulkan kejadian-kejadian yang mungkin di
rekam masyarakat. Kalau yang terakhir ini, masih dalam proses penyelidikan
kan,” ujar dia.
Wisnu kembali menjelaskan, semua kasus kematian di lubang
tambang tetap ditindaklanjuti. Dari tahun 2009 hingga 2014, polisi tidak pernah
menjadi pihak pendamai untuk keluarga korban dan pihak perusahaan. Namun, kata
dia, polisi harus bekerja sesuai aturan.
“Dari tahun 2013 mundur sampai 2009, semua informasi kita
tindak lanjuti, dengan catatan polisi harus mengedepankan asas praduga tak
bersalah, kerja profesional dan proporsional,” jelasnya. Sehingga, kata dia,
dalam berkas pemeriksaan, diperlukan kejelian dari kacamata penyidik.
“Bagaimana peneliti melihat kasus-kasus ini, sangat dibutuhkan kejelian untuk
bisa membuktikan di situ ada unsur pidananya atau tidak,” pungkasnya. (YOVANDA,
Samarinda)
0 Komentar untuk "Siapa Bilang Juru Damai?"