Upaya pemberantasan korupsi di negeri ini bagaikan membuka “Kotak Pandora”. Sebut saja tatkala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron. Tiga koper besar dengan total uang Rp4 miliar menjadi barang bukti. Dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung, penyidik tengah mendalami dugaan kepemilikan rekening gendut yang melibatkan sejumlah kepala daerah. Tampaknya, penghasilan jumbo kepala daerah belum bisa menyembuhkan penyakit ganas bernama korupsi.
Isu hangat KPK membidik rekening
gendut para kepala daerah turut menjadi perhatian Wali Kota Samarinda Syaharie
Jaang. Tapi ia menolak disebut bagian dari pemilik rekening gendut tersebut,
meski Jaang mengaku pendapatan seorang wali kota relatif lebih dari cukup.
Tak ada perubahan mimik wajah dan
tensi bicara saat Jaang ditanya seputar isu rekening gendut yang kini dibidik
komisi anti rasuah. Ia tampak santai menjawab ketika disoal bagaimana ia
menanggapi sorotan banyaknya kepala daerah yang memiliki pundi-pundi di luar
kewajaran jika dibanding dengan apa yang semestinya diperoleh.
Menurutnya, sebagai salah satu
kepala daerah sudah menjadi konsekuensi jika diteropong aparat hukum. Baik KPK,
kejaksaan atau kepolisian. Karenanya sebagai kepala daerah
ia tetap dalam koridor dan melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan ketentuan dan
perundang-undangan.
"Sebenarnya saya tidak bisa
memberikan komentar apapun, karena kan siapa yang dimaksudkan kita tidak tahu.
Itu wilayah kerjanya KPK. Tapi untuk menanggapinya, ya saya tetap bekerja dalam
koridor sebagai wali kota dalam memanfaatkan uang negara," kata Jaang.
Menurutnya, pendapatan seorang
kepala daerah sudah banyak. Mulai dari gaji pokok, upah pungut retribusi yang
masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), tunjangan, honor-honor tertentu, dan
sejumlah fasilitas lainnya. Itu menurutnya sudah lebih dari cukup.
Jika kemudian kepala daerah
bersangkutan melakukan sesuatu di luar ketentuan keuangan dimaksudkan, bisa
disebut kemaruk, selalu merasa tidak
puas dengan apa yang diterima. "Jujur saja, kami ini ‘kan
hanya kencing yang tidak dibiayai pemerintah. Yang lainnya, mulai dari
fasilitas rumah, kesehatan, mobil, perjalanan dinas dan lain sebagainya semua
dibiayai pemerintah. Jadi ya kalau saya bersyukur dengan semua itu,"
ujarnya.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt)
ketua DPD Partai Demokrat Kaltim, sangat tidak pantas jika dirinya bersama
keluarga merasa masih kurang. Apalagi sebelum menjadi wali kota, bahkan jauh
sebelum menjadi wakil wali kota Samarinda dua periode, dirinya sudah
berkecukupan.
"Isteri saya seorang PNS
(Pegawai Negeri Sipil, red) yang ada gaji sendiri. Kemudian saya ini sebelum
jadi wakil wali kota ‘kan sudah punya mobil pribadi, punya tanah, punya rumah
dan lain sebagainya. Jadi kalau itu menjadi standar kekayaan saya disebut
melimpah, saya pikir itu tidak tepat," terangnya.
Jaang membantah jika kekayaan
yang dimilikinya sekarang memanfaatkan posisinya sebagai wali kota. Misalnya
banyak yang menyebut posisi kepala daerah memudahkan untuk mendapatkan fee
(uang komisi, red) dari beberapa proyek. "Siapa bilang? Tidak benar itu.
Itu tadi yang saya katakan, apa yang saya terima kan sudah lebih dari
cukup," ujarnya.
Pada 2 Desember lalu, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menyerahkan delapan
rekening gendut kepala daerah ke Kejagung. Sebelumnya laporan transaksi yang
diduga terkait Nur ALam dikabarkan mencapai USD 4,5 juta atau sekitar Rp 56
miliar. Melihat besarnya transaksi mencurigakan itu, KPK mempertimbangkan untuk
menangani kasus itu.
PPATK sendiri kini menemukan
lebih dari 20 rekening gendut yang dimiliki oleh kepala daerah. Temuan ini
didapat setelah PPATK menelusuri dari tahun 2009 sampai 2011. "Ada 20
lebih, ada di Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Akumulasi mencapai Rp 650 Miliar,"
ujar kepala PPATK, M Yusuf kepada JPNN.
Sampai saat ini, Kejagung masih
memproses 7 kepala daerah yang diduga memiliki rekening gendut dari 8 nama
hasil laporan PPATK. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono mengatakan,
Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi
(P3TPK) akan menangani berbagai perkara korupsi yang selama ini mandek di
Kejaksaan Agung. Kasus dugaan rekening gendut beberapa kepala daerah merupakan
salah satu prioritas kerja tim ini.
"Misalnya yang disinyalir
rekening gendut. Pokoknya perkara korupsi yang perlu ditindaklanjuti,"
ujar Widyo ketika ditemui seusai acara pelantikan 100 jaksa anggota Satgasus,
di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (8/1) pekan lalu.
Saat
ditanya kualifikasi kasus korupsi yang akan dilimpahkan kepada satgasus, Widyo
enggan berbicara banyak. Ia tak mau menjelaskan minimal kerugian negara yang
dijadikan dasar pembagian perkara.
"Pokoknya
semua perkara korupsi yang layak untuk mendapatkan prioritas, penanganannya
akan dilakukan," ucapnya. Ia hanya menyebut Kejaksaaan Agung telah
memetakan kasus-kasus yang akan masuk radar Satgasus.
Dugaan rekening gendut beberapa kepala daerah muncul setelah Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Muhammad Yusuf, mendatangi kantor korps Adhyaksa Desember silam. Ketika itu, Yusuf dikabarkan menagih Jaksa Agung atas tindak lanjut laporan yang telah diserahkan PPATK tahun 2012 lalu.
Beberapa
nama yang kepala daerah yang ditengarai rekeningnya tak wajar adalah Bupati
Pulang Pisau Edy Pratowo, Bupati Bengkalis Herliyan Saleh, Gubernur Sulawesi
Tenggara Nur Alam, Bupati Seruyan Sudarsono, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin
Teras Narang, Bupati Klungkung I Wayan Candra, dan Bupati Rejang Lebong
Suherman.
Terdapat tiga alasan rekening para kepala daerah itu disebut mencurigakan. Pertama, nominal transaksi keuangan mereka tidak cocok dengan profil yang tercatat di basis data perbankan. Kedua, terdapat aliran dana ke rekening pejabat tersebut yang berasal dari pihak perusahaan terafiliasi. Ketiga jenis mata uang yang digunakan untuk bertransaksi dinilai mencurigakan. (MUHAMAD KHAIDIR)
0 Komentar untuk "Ngeri-Ngeri Sedap Rekening Gendut"