-->

Menggugat Ketidakadilan

Kelalaian setelah Menambang



TEWASNYA Muhammad Raihan Saputra di lubang bekas tambang batu bara, sejatinya menjadi momen penting penegak hukum menunjukkan keseriusan melakukan penyelidikan. Sebab dengan konsep pertanggungjawaban pidana, pihak-pihak terkait dapat diseret ke meja hijau. Dengan konsep ini, terdapat aturan tentang penerapan doktrin strict liability dan vicarious liability

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Siti Kodijah menjabarkan, menurut doktrin strick liability (pertanggungjawaban ketat), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu (Tipiter), walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (meas rea). Strict liability diartikan liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).

“Kecelakaan di bekas pertambangan batu bara ini murni tidak pidana kelalaian, dan merujuk pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Dalam hal ini tindak pidana yang terjadi terkait bidang pertambangan, unsur kelalaiannya terkait kegiatan pascatambang,” perempuan yang konsentrasi mengajar di bidang kejahatan tambang. 

Sebab, pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial, menurut kondisi lokal di seluruh wilayah pertambangan.

Terjadinya kecelakaan itu lantaran usaha pascatambang tidak dilakukan dengan baik dan benar. Ini jelas melanggar aturan yang sudah dituangkan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), yang dibuat sebelum izin usaha pertambangan keluar. 

Analis hukum lingkungan ini menyebutkan, hal lain yang harus diperhatikan proses pascatambang, berupa reklamasi bekas galian usaha pertambangan, seharusnya dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannnya. 

“Jika tidak dilakukan oleh perusahaan yang punya izin tambang, berarti ini merupakan perbuatan tindak pidana Pasal 100 Undang-Undang Lingkungan Hidup,” tandasnya.

Secara normatif, Siti mencatat, tindak pidana yang terjadi tidak diatur dalam UU Minerba, sehingga dicari aturan undang-undang yang bersifat umum, seperti KUHP yang salah satunya mengatur tentang culpa atau kelalaian. 

Unsur tindak pidana kelalaian, yang terpenting adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.

“Pasal tentang tindak pidana kelalaian merujuk pada Pasal 359 KUHP. Barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun,” jelasnya. 

Dia menambahkan, pasal ini dijadikan dasar penuntutan terhadap kasus meninggal anak-anak di bekas lubang pertambangan batu bara. Karena kurang hati-hati dan kelalaian dari beberapa pihak baik pengusaha, pemerintah, dan orangtua, telah menyebabkan kematian bagi anak-anak.

“Perlindungan sosial terhadap anak-anak di dekat lubang bekas tambang, dalam rangka fungsi hukum pidana sebagai sarana perlindungan sosial,” katanya. 

Untuk itu, pertanggungjawaban pidana dilakukan pada pengusaha yang mengelolaan areal pertambangan batu bara, yang harus melakukan pascatambang pada bekas lubang tambang yang selesai digali, jika masih dalam tahap proses reklamasi, ada tanda-tanda atau imbauan untuk tidak bermain di areal bekas sumber galian tambang. 

“Badan Lingkungan Hidup Daerah dan Dinas Pertambangan Samarinda, selaku pengawas harusnya melakukan pengawasan dan teguran jika tidak sesuai dengan aturan yang sudah diatur dalam UU PPLH. Kemudian orangtua, apabila anak-anak di bawah umur 10 tahun, harus dalam pengawasan orangtua dalam pergaulan dan tempat bermain anak-anak,” ungkapnya.

Sayangnya, lanjut dia, hingga 9 bocah tewas di bekas galian tambang, tetap menjadi tumpukan kertas, tanpa jelas penegakan hukumnya. Padahal secara hukum, mereka yang dapat dimintai pertanggungajawaban pidana. Ini mengarah pada unsur kelalaian semua pihak terhadap pengelolaan bekas usaha pertambangan.

Dan perlu dipahami, dalam tindak pidana kelalaian KUHP tidak mengenal pertanggungjawaban korporasi, kecuali terhadap perundang-undangan yang mengatur tersendiri tindakan hukum korporasi. Untuk tindakan hukum korporasi di bidang pertambangan sebagaimana yang dilakukan oleh suatu badan hukum, merujuk Pasal 163 UU Minerba, pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. 

Juga dalam Pasal 164 UU Minerba, pidana denda bagi badan hukum dapat dijatuhi sanksi tambahan berupa: a) pencabutan izin usaha; dan/atau b) pencabutan status badan hukum. Hanya dijelaskan hukumannya, namun tindak pidana yang dilakukan tidak dijelaskan.

“Seyogianya, apapun alasannya, seharus aparat penegak hukum, tetap mengedepankan tindak pidana di bidang pertambangan batu bara sebagai langka awal memberi efek jera bagi pelaku. Jangan biarkan generasi muda Kota Samarinda menjadi korban kutukan emas hitam tanpa hukum yang jelas,” tegasnya. (YOVANDA, Samarinda)

0 Komentar untuk "Kelalaian setelah Menambang "

Back To Top