Oleh: Ajid Kurniawan
Ada gejala menarik terkait concern masyarakat mengkritisi pimpinan-pimpinan
mereka. Ya, leadership style telah
menjadi topik hangat pembicaraan. Begitu banyak orang mengkritisi gubernur,
bupati, pimpinan DPRD, kapolda, kapolres, kepala kejaksaan, ketua pengadilan, pimpinan
partai, pengusaha, sampai bos-bos mereka sendiri. Kepala SKPD, camat, lurah,
atau Ketua RT semua dapat giliran dikritisi atau mengkritisi. Terlebih kepada pejabat
layanan publik seperti PT. PLN, PDAM, dan Perbankan. Lewat saluran interaksi di
media, kritik, hujatan dan umpatan yang terlontar luar biasa derasnya.
Pokoknya setiap gaya dan cara orang
memimpin selalu dikomentari. Cara berpakaian dan aksesori yang dikenakan pimpinan
dicermati. Pimpinan jarang masuk kantor dikritisi. Karakter pimpinan yang
reaksioner dan emosional disorot. Sikap plintat-plintut pimpinan dicibir.
Kebiasaan jam karet dikecam. Terlalu protokoler tidak disenangi. “Hobi” ngelencer ke luar daerah dicaci. Terlalu
sering blusukan dianggap pencitraan. Nomor
handphone sulit dihubungi atau sering
gonta-ganti nomor dinilai anti-komunikasi. Hingga hobi bermusik dan menyanyi
pun dipergunjingkan. Seru sekali, bukan!
***
Saya mendapat pemahaman bahwa korupsi
itu dapat dibedakan dalam dua bentuk. Begitu menurut begawan hukum Satjipto
Rahardjo. Ia membedakannya atas korupsi konvensional dan nonkonvensional.
Korupsi konvensional adalah korupsi menurut hukum pidana, yaitu memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara dengan
cara melawan hukum. Sedangkan korupsi nonkonvensional adalah perilaku koruptif
dalam hidup sehari-hari, seperti arogansi kekuasaan, suka mempersulit urusan
orang, suka disanjung-sanjung, sangat suka pada protokoler yang meninggikan
diri, atau suka membuat orang lain yang ingin bertemu menunggu lama.
Menurut pakar bisnis dan manajemen
Rhenald Kasali, karakter tidak dapat diciptakan dengan membayar mahal
pengamat-pengamat politik atau pakar-pakar komunikasi. Yang dapat dibangun itu
cuma sebuah drama yang disebut “reputasi pencitraan”. Karakter berbeda dengan
reputasi pencitraan. Reputasi hanya mencerminkan apa yang tampak di garis luar,
disampaikan orang-orang tertentu untuk “menghibur hati”. Reputasi adalah ucapan
orang yang bisa tulus, bisa juga tidak, bisa benar, bisa juga dibenar-benarkan.
Meski penting, karakter belumlah cukup. Seorang pimpinan juga diukur dari “apa
yang dia lakukan”. Kedalaman kompetensi dan kematangan seorang pimpinan
tercerminkan pada apa yang dilakukannya.
Kongko-kongko saya dengan teman-teman
pengusaha di Kalimantan Tengah, mereka begitu mendambakan gaya kepemimpinan
Dahlan Iskan yang penuh gebrakan bisa menulari para pimpinan di daerah. Kata
mereka, seandainya para pejabat publik di daerah ini seberani dan sekreatif
Dahlan, masa keemasan daerah akan segera tercapai. Mereka yakin sekali akan hal
itu. Kalaupun tidak seberani dan sekreatif Dahlan Iskan, hendaknya mereka belajar
untuk dapat seperti itu. Jangan menghalanginya.
Harus diakui, sejak hadir di pentas
jabatan publik, Dahlan telah melakukan terobosan kepemimpinan yang sangat
memukau. Terobosan itu secara perlahan mendapat perhatian dan dukungan publik.
Hasbullah Sastrawi misalnya, pengamat politik Timur Tengah itu berpandangan,
respons publik yang sangat positif terhadap gaya kepemimpinan Dahlan Iskan
dapat dipahami dari dua sisi. Di satu sisi respons itu mencerminkan tingkat
kejenuhan masyarakat terhadap gaya kepemimpinan yang bercorak formalistik,
legalistik, dan miskin substansi. Di sisi lain gaya kepemimpinan tokoh tersebut
terbukti secara perlahan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Dengan
kata lain, Dahlan dianggap publik sebagai pembawa kepemimpinan yang relevan dan
kontekstual dengan beratnya persoalan-persoalan yang ada.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahfud MD bahkan sangat respek melihat gebrakan-gebrakan yang dilakukan Dahlan
Iskan saat menjabat Menteri BUMN. Menurut Mahfud dalam buku “Inilah Dahlan
Itulah Dahlan”, langkah-langkah dan pembawaan Dahlan Iskan layak diberi gelar.
Dan gelar yang paling cocok untuk Dahlan Iskan adalah Al Daakhil yang berarti sang pendobrak atau sang penakluk. Sehingga
nama Dahlan Iskan bisa ditambah satu kata menjadi Dahlan Iskan Al Daakhil atau
Dahlan Iskan sang Pendobrak dan Penakluk.
Pada skala nasional dan daerah, harus
diakui bahwa kesadaran akan kepemimpinan kontekstual selama ini masih cukup
lemah. Pembahasan tentang kepemimpinan masih kerap mengacu pada nilai-nilai
primordialisme. Padahal masalah-masalah yang ada mungkin tidak berhubungan
secara langsung dengan nilai-nilai primodial tersebut. Sejatinya, pilihan
terhadap seorang pimpinan harus memperhatikan kemampuan dan kecakapannya dalam
menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Dengan kata lain,
kecakapan seorang pimpinan dalam menghadapi aneka persoalan harus menjadi
pertimbangan prioritas. Saya kira, kita sepaham bahwa setiap calon pimpinan dan
pimpinan dapat belajar bahwa kini segala sesuatunya telah berubah.
***
Tema kepemimpinan menjadi bahan diskusi
hangat ketika para Pimpinan Redaksi Koran Metro kelompok Jawa Pos Group berguru
langsung kepada Dahlan Iskan. “Oleh-oleh” tentang kepemimpinan itu sudah
dibagikan oleh tiga murid Dahlan Iskan dari Balikpapan dan Samarinda
sekembalinya dari Padepokan Dahlan Iskan di Jakarta. Di Balikpapan, Pemred
Balikpapan Pos Yudhianto menceritakan gemblengan selama 10 hari yang telah
diterimanya sebagai murid.
Bicara leadership, bagi Dahlan itu sudah masuk art atau seni memimpin. Bukan lagi teknis menjalankan prosedur. Art inilah bagaimana kita bisa bekerja
dengan yang di atas, samping, dan bawah. Karena sudah pada tingkat leadership, maka leadership yang lebih
menonjol. Kebijakan dan gaya leadership
lebih menentukan daripada formalitas apapun. “Kalau kita bicara dalam filsafat:
bagaimana menarik benang tanpa merusak tepung,” ujar Dahlan dalam resume “Doktrin
Dahlan Iskan” yang disampaikan Yudhianto.
“Seluruh doa itu esensinya adalah
perintah”. Begitu sang guru berujar kepada sang murid. Sehingga kalau pimpinan dan
bawahan bisa memerintahkan Tuhan, maka atasan dan bawahan pun saling bisa
memerintah. “Ini hanya soal cara,” kata Dahlan.
Kawan, perubahan akan selalu mengiringi
kelebat waktu. Oleh karena itu, mari beradaptasi dan memperbaiki leadership kita!. (jid@kaltimpost.net)
0 Komentar untuk "Komentar Leadership"