Sektor pertambangan
ditengarai menjadi sarang mafia. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
merilis potensi kerugian negara di sektor ini mencapai Rp 4
triliun. Bagaimana di Kabupaten Paser?
Pekan pertama September lalu, seorang pegawai Kecamatan Long Ikis,
Kabupaten Paser terlihat sibuk membolak-balik berkas. Di berkas itu tercatat daftar
perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah administrasi Long Ikis.
Gurat amarah terpapar di wajahnya. Aparatur pemerintah di tingkat kecamatan
merasa dianggap angin lalu oleh para pemodal “emas hitam”.
Satu dari beberapa perusahaan tambang yang bersikap “slonong boy” adalah
PT. Satria
Mahkota Gotech. Perusahaan tambang batu bara yang telah beroperasi
sejak 2007 itu tidak pernah sekalipun bertandang ke kantor kecamatan untuk
sekadar permisi
atau meminta rekomendasi.
“Padahal
konsesi pertambangan PT. Satria Mahkota Gotech masuk ke dalam
wilayah administrasi Kecamatan Long Ikis,” kata pegawai Kecamatan Long Ikis itu. Kepada Gugat, ia meminta identitas dirinya
tidak dipublikasikan.
Sesuai standar
operasional Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi Mineral Logam dan Batu Bara
di kawasan Wilayah Izin
Usaha Pertambangan
(WIUP), ketentuan-ketentuan seperti keterlibatan camat dan
kepala desa melalui surat rekomendasi serta surat pernyataan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus dipenuhi. “Ketentuan-ketentuan tersebut faktanya memang dikesampingkan. Kita tidak
bisa berbuat banyak, karena perusahaan sudah mendapat izin bupati,” katanya
dengan tekanan suara mulai merendah.
Mengantongi kontrak kerjasama dengan Pemkab Paser
pada 26 Agustus 2004, ironisnya konsesi PT. Satria
Mahkota Gotech berada di dalam kawasan cagar alam. Larangan melakukan
aktivitas dan pengelolaan sumber daya alam di dalamnya tidak berlaku di
Kabupaten Paser. “Birokrat sangat paham bahwa cagar alam harus steril dari
aktivitas investasi, tapi praktiknya jauh panggang dari api,” tandasnya.
Pengamatan Gugat, jejak
aktivitas tambang berupa lubang besar menganga terlihat di tengah kawasan cagar
alam. Jaminan reklamasi pasca penambangan belum direalisasikan oleh PT. Satria
Mahkota Gotech. Persoalan
lain juga dihadapi perusahaan tersebut. Masyarakat Desa
Atang Pait memprotes jalan desa dijadikan akses jalan utama menuju
lokasi pertambangan. Masalah ini pernah
dilaporkan ke Polda Kaltim. Dasar
pelaporannya adalah kerusakan
lingkungan dan kerugian masyarakat lantaran fasilitas jalan desa menjadi rusak.
Aktivitas eksplorasi tambang di kawasan cagar alam juga
menjadi dasar pelaporan ke Polda Kaltim. Sampai sekarang tidak ada upaya aparat penegak hukum untuk
meneruskan kasus tersebut melalui penyelidikan maupun penyidikan. “Kami sudah mengeluarkan Peraturan Desa yang merujuk pada
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk menekan
pihak perusahaan. Namun pihak
perusahaan bergeming,”
sambung Ardiansyah, Kepala Desa Atang Pait.
Lemahnya pengawasan oleh Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Paser juga disesalkan warga desa. Warga desa pemilik
kebun kelapa sawit sudah menanggung kerugian. “Dosa” perusahaan kepada warga
adalah limbah batu bara masuk ke perairan kebun warga. Tidak heran apabila
warga menduga pihak perusahaan belum mengantongi izin Amdal. Kalaupun sudah, itu
tidak diketahui karena pihak perusahaan tidak pernah menyosialisasikannya.
“Kerusakan
lingkungan sudah terjadi. Asumsi warga
sangat beralasan karena pihak perusahaan
tidak pernah melakukan pemulihan kualitas air dan tanah. Padahal kegiatan
produksi tambang telah berdampak pada
pencemaran lahan perkebunan sawit milik warga,” ungkapnya.
Dia menengarai ada oknum aparat Desa Tajur yang mengambil
keuntungan di balik persoalan tersebut. Oknum aparat desa itu kerap menerima fasilitas barang dan
uang dari pihak perusahaan sebagai imbalan telah membantu proses pembukaan
lahan. “Oknum aparat desa Tajur pernah menerima duit,
tidak tahu pasti berapa nominalnya. Duit itu hasil dari pembukaan
lahan,” tuturnya.
Menurutnya, pihak perusahaan juga
telah menjadikan pemuda desa sebagai tameng untuk melindungi operasional
produksi. Caranya dengan mempekerjakan sejumlah pemuda. Mereka bertugas
mengawasi proses produksi. “Ketika terjadi permasalahan, yang berkonflik malah
warga dengan warga,” ujarnya.
***
Sektor pertambangan
bukanlah komoditi utama untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Paser. Ini lantaran
sektor pertambangan di tingkat kabupaten dikelola
langsung dan melalui bagi hasil dengan pemerintah pusat. Tak ada jaminan kegiatan eksplorasi dan produksi tambang tidak merusak
sumber daya alam. Kebijakan jaminan reklamasi pasca tambang hanyalah aturan di atas kertas
yang sering diabaikan oleh pemodal di sektor tambang.
Dinas Pertambangan
(Distamben) Kabupaten Paser mencatat, terdapat 79 perusahaan pertambangan di kabupaten yang berbatasan
dengan Provinsi Kalimantan Selatan tersebut. Sebanyak 38 diantaranya memegang izin operasi produksi, sedangkan
41 perusahaan tambang memegang izin eksplorasi.
Pihak Distamben mengakui bahwa 40 persen perusahaan tambang belum sepenuhnya
menjalankan jaminan reklamasi pasca tambang. Lemahnya
sistem pengawasan menjadi tolok ukur banyaknya perusahaan yang melanggar izin.
“Reklamasi bukan diukur dari proses mekanisme
menjalankannya, melainkan persentase secara umum dari luasan lahan yang direklamasi. Dari 40 persen perusahaan tambang yang melanggar,
meskipun sudah ada upaya, namun
tetap saja belum sepenuhnya menjalankan jaminan reklamasi itu,” kata Joko, Kasi Perizinan
Dinas Pertambangan Kabupaten Paser.
Belum adanya legalitas dalam mengeksekusi jaminan
reklamasi menjadi alasan lainnya sehingga banyak perusahaan yang lalai dan
mengindahkan reklamasi untuk dilaksanakan. Padahal, sebelum izin eksplorasi
diterbitkan, syarat
dan jaminan reklamasi harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan telah ditetapkan didalam
dokumen izin eksplorasi. “Mekanisme dalam mengeksekusi jamrek masih menjadi
soal. Apakah harus menunjuk pihak ketiga dulu atau
dieksekusi langsung oleh pemkab. Sementara jika
merujuk pada sistem pengadaan barang di atas Rp 200 juta menggunakan sistem lelang,” paparnya.
Ketidakjelasan dalam mekanisme eksekusi jaminan reklamasi
menjadi sebab banyaknya perusahaan yang mangkir melaksanakan jaminan reklamasi.
Begitu juga peraturan daerah Kabupaten Paser
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pertambangan Umum tidak secara tegas dan gamblang
mengatur tentang jaminan reklamasi lantaran hingga saat ini belum ada revisi
dan masih mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lama. Tak ayal, jaminan reklamasi urung dilakukan dan berdampak pada
kerusakan lingkungan di area konsesi pertambangan.
“Jika merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang baru, tentunya perda ini tidak relevan lagi. Meskipun ada PP No. 2
Tahun 2010 Tentang Reklamasi sebagai acuan sementara,
namun juga tidak secara tegas dapat mengeksekusi
sistem lelang jaminan reklamasi,” ungkapnya.
Dia mengatakan Pemkab Paser terus berupaya meningkatkan sistem pengawasan
melalui Inspektorat Pengawas Pertambangan. Namun demikian belum menjadi jaminan bisa meminimalisir jumlah pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak perusahaan pertambangan. “Paradigmanya
harus diubah. Perusahaan tambang jangan selalu menunggu
untuk ditegur dan diawasi. Kalau seperti itu selamanya nggak akan tertib, begitu juga jaminan reklamasi
selamanya nggak
akan jalan,” tuturnya.
***
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Paser mengakui bahwa perusahaan tambang, perkebunan, dan kehutanan banyak yang merusak lingkungan. Namun diakui
BLH, kebijakan birokrasi penguasa terkesan memberikan
pengecualian terhadap beberapa perusahaan di sektor pertambangan dan perkebunan
serta kehutanan untuk beroperasi. Meski dari aspek pengelolaan lingkungan hidup
di wilayah konsesi belum dapat dikatakan layak
lantaran belum melalui proses kajian Amdal, BLH tidak menampik adanya kesan pemaksaan untuk melakukan operasi produksi dan
eksplorasi serta eksploitasi lahan. Dampaknya, lahan di area konsesi mengalami
kerusakan. Tidak hanya persoalan limbah hasil produksi, lahan pasca tambang juga tidak dilakukan reklamasi dan ditinggal
begitu saja.
“Realitasnya
memang banyak perusahaan yang melanggar izin lingkungan. Kita tidak bisa berbuat apa-apa jika birokrasi penguasa memberikan
kebijakan dan izin produksi dan eksplorasi sumber daya alam di Kabupaten
Paser,” kata Rafii, bidang Amdal BLH Paser.
Padahal, jelas dia, Peraturan Bupati
Paser Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Rincian Tugas dan Fungsi Badan Lingkungan
Hidup, sudah secara gamblang mengatur kewenangan lembaga ini dalam proses
pengendalian pencemaran lingkungan serta pelaksanaan pengawasan
pengelolaan lingkungan hidup.
“Perbup yang sudah disahkan menjadi upaya dan itikad baik
pemkab. Hanya komitmen pelaksanaannya belum sepenuhnya
berjalan dengan maksimal. BLH tidak dapat berbuat banyak kalau
pemkab sudah memberi izin,” ujarnya.
Diakuinya, kendati pada tingkatan birokrasi belum
menjalankan komitmen dengan maksimal, saat
ini BLH sudah berupaya untuk menjalankan proses peninjauan kembali Izin Amdal
baik yang sudah diberikan maupun izin baru secara berkala terhadap
perusahaan-perusahaan yang menggunakan kawasan rentan dengan potensi kerusakan
lingkungan. BLH sesuai dengan fungsinya juga berupaya untuk menjalankan dan
melaksanakan pengaturan,
pengelolaan dan pemantauan kualitas dan
pengendalian pencemaran air pada sumber air yang kerap dikeluhkan masyarakat di
area kawasan perkebunan.
“Kerjasama
harus dilakukan oleh semua pihak, bukan
hanya oleh pemangku kebijakan saja. Juga harus ada partisipasi dari pihak
perusahaan dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan melindungi sumber daya
alam di sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan dengan baik,” pungkasnya. FAJRIN NOOR, AJID KURNIAWAN
0 Komentar untuk "Sarang Tikus di Lubang Tambang"