Triliunan anggaran yang dikelola
Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan tak lantas menyelesaikan problem kemiskinan
di kota ini. Kepada siapa si miskin harus mengadu?
DI sebuah kios yang letaknya tak jauh
dari kandang ayam, Agus (36) hidup seorang diri. Ia tak berdaya. Kedua kakinya
lumpuh. Karena kelumpuhannya itu, warga RT 1 Kelurahan Teritip, Kecamatan
Balikpapan Timur tersebut hanya bisa menghabiskan hari demi harinya di atas ranjang
reotnya. Berharap belas kasihan dari tetangga sekitar menjadi tumpuan
penyambung hidup. Tak hanya kondisi kakinya yang cacat, pria lajang itu juga
sulit berkomunikasi. Ia tidak bisa bicara dengan jelas.
Sepengetahuan Mursalin, pemuda yang
tinggal tak jauh dari gubuk Agus, bantuan secara langsung berupa Bantuan
Langsung Tunai (BLT) atau bantuan sosial lainnya dari pemerintah kota belum
pernah diecap oleh Agus. Pemuda lajang cacat itu pun hanya bisa pasrah meratapi
keadaan hidup yang seringkali dijanjikan bantuan oleh pihak kelurahan dan
selalu meleset.
Jangankan bantuan
dari
pemerintah kota, pihak Kecamatan Balikpapan Timur pun tidak mengetahui keberadaan warganya yang harus berbagi tempat tinggal dengan ayam peliharaan warga.
Gito, Ketua RT 1
tak menampik bahwa bantuan-bantuan yang disalurkan terhadap warga miskin acap
tidak tepat sasaran. Ini dikarenakan pendataan warga miskin kurang melibatkan
peran RT yang lebih mengetahui kondisi warga. “Cukup banyak warga yang
sebenarnya layak mendapat bantuan tetapi tidak mendapatkannya,” ujarnya.
Tak hanya Agus, keadaan nyaris serupa
juga dialami Syamsiah (50), janda tua yang tinggal di RT 6 Kelurahan Lamaru.
Sejak 10 tahun lalu gubuk yang yang dibuat secara gotong royong oleh warga
tersebut ia tinggali seorang diri. Gubuk berukuran 3x4 meter tersebut dibangun
di tengah kebun kelapa milik salah seorang warga.
Seperti halnya Agus, ia pun belum
pernah mendapat bantuan dari pemerintah kota. Meski program bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial
telah bergulir, Syamsiah belum pernah merasakan bantuan tersebut. “Sudah sering minta tolong minta dibuatkan KTP
ke Ketua RT tapi belum juga dibuatkan,” ungkapnya.
Nenek berstatus
janda
ini ditinggal merantau oleh anak-anaknya. Ia menggantungkan
hidup dari hasil menjaga kebun kelapa milik warga dan menerima hasil lebih ketika
panen
kelapa. Ia tidak pernah meminta upah kepada pemilik kebun dari jasa menjaga kebun dan
membantu memungut buah kelapa ketika jatuh dari pohonnya untuk dijual kembali ke tengkulak oleh pemilik kebun. “Sudah diberi gubuk untuk ditinggali saja
sudah bersyukur,” tuturnya.
Masih ada lagi
warga miskin di
Lamaru yang membutuhkan uluran tangan dengan kondisi lebih
memprihatinkan.
Made (78), perantauan asal
Pinrang Sulsel ini hidup
sebatang kara. Seperti halnya Syamsiah, ia pun tinggal di gubuk reot berukuran 1x2 meter yang dibangun di atas tanah milik warga. Sudah hampir 2 bulan ini Made mengeluh sakit.
Karena persoalan biaya, sakit yang dideritanya hanya didiamkan.
“Sakit yang dideritanya
mempengaruhi nafsu makannya. Kondisi
perutnya lagi kurang sehat dan salah satu
kakinya kerap terasa sakit tanpa
diketahui penyebabnya,” terangnya.
Abdulah, tetangga
lainnya mengungkapkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu Made
telah menjadi warga RT 17 Lamaru. Istri
dan anak-anaknya tidak diketahui keberadaannya. Sebelum menderita sakit, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Made menjual hasil tanaman yang ditanamnya
di sekitar pekarangan gubuk miliknya.
Para tetangganya berharap pemerintah
kota memperhatikan Made dengan memberikan bantuan atau santunan mengingat Made
tidak
lagi dapat mencari nafkah secara rutin lantaran sakit.
Agus, Syamsiah dan Made adalah potret sebagian kecil masyarakat
kota Balikpapan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Seyogyanya mereka
tersentuh bantuan oleh pemerintah. FAJRIN NOOR, BALIKPAPAN
0 Komentar untuk "Nestapa di Gubuk Reot Tiga Warga Balikpapan "