Masih
ingat kasus penjualan saham PT Kutai Timur Energi (KTE)? Kasus yang sempat hilang dari perhatian
publik ini kembali muncul ke permukaan. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor
Samarinda, terdakwa Mujiono, mantan Ketua DPRD Kutim periode 2004-2009
pelan-pelan membuka babak baru. Nama Mahyudin dan Awang Faroek Ishak kembali
berdengung di ruang sidang. Siapa sebenarnya dalang dalam kasus ini?
Tepat
pukul 11.00 Wita, Mujiono menginjakan kakinya di Pengadilan Tipikor, Rabu
(11/6) lalu. Mengenakan baju batik berwarna cokelat dan kopiah hitam, mantan
orang nomor satu di DPRD Kutim ini sesekali menebar senyum kepada awak media
yang menghadiri sidang lanjutan kasus yang membelitnya.
Didampingi
pengacaranya Effendi Mangunsong, Mujiono masuk ke ruang sidang dengan membawa
segepok dokumen. Tapi tidak jelas juga dokumen apa itu.
Yang
jelas, sidang yang berlangsung selama hampir 5 jam itu, menghadirkan kembali
beberapa saksi. Salah satunya Abdal Nanang (mantan Ketua DPRD Kutim periode
1999-2004).
Dalam
perjalanan sidang, tidak begitu banyak Mujiono memberikan keterangan atas
beberapa pertanyaan yang diajukan hakim.
Pun
begitu saat dirinya ditanya mengenai apa isi presentasi Awang Faroek Ishak, yang
kala itu masih menjabat sebagai Bupati Kutim, saat meminta persetujuan DPRD ke mana akan memutar uang hasil
penjualan 5 persen saham Pemkab Kutim di KPC.
“Saya
jarang ikut rapat pansus. Jadi saya tidak tahu apakah itu presentasi untuk
penjualan saham KTE atau presentasi mau diapain uang hasil penjualan,”
jelasnya.
Sementara
itu, saat ditemui seusai sidang, Mujiono tak begitu banyak berkomentar. “Doakan
saja ya Mas mudah-mudahan berjalan lancar. Saya sedang sakit juga nih,” kata
dia.
Mujiono
memang tak begitu banyak berkomentar. Tetapi, surat dakwaan yang diterima Gugat dari Kejaksaan Tinggi (Kejati)
yang mengarah kepadanya memberikan beberapa keterangan.
Dalam
surat dakwaan primair yang memiliki Nomor Registrasi PDS-07/SGT/02/2014 kembali
mencuatkan nama Mahyudin, mantan Bupati Kutim dan Awang Faroek Ishak dalam
kasus ini.
Mahyudin,
anggota DPR asal Partai Golkar itu disebut-sebut dalam surat dakwaan memiliki
peranan penting dalam kasus ini. Masih dalam surat itu, cerita bermula saat
berdasarkan perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) ada
kesepakatan pemerintah dan PT Kaltim Prima Coal dalam bentuk perjanjian, Pemkab
Kutim memperoleh kepemilikan hak membeli saham PT KPC sebesar 18,6 persen (hak
eksklusif).
Seiring
itu, persoalan pun muncul. Pemkab Kutim disebutkan tidak memiliki uang untuk
membeli saham PT KPC sebesar 18 persen atau setara dengan 55.800 lembar (lebih
dari Rp 1,5 triliun) saham tanpa persetujuan DPRD Kutim.
Mujiono
yang kala itu bersama dengan Abdal Nanang, Bahrid Buseng dan Alek Rohmanu
(anggota DPRD Kutim) dan Mahyuddin serta Anung dan Adiman Malik (direksi KTE)
disebut-sebut telah membuat kesepakatan pengalihan hak membeli saham serta
pemberian kuasa penuh dari Pemkab Kutim kepada PT KTE.
Kesepakatan
ini tercatat dibuat di Kantor PT Bumi Resource, Jakarta Selatan. Bumi Resource
yang saat itu dimiliki konglomerat Abu Rizal Bakrie. Dalam
perjanjian itu, sebenarnya PT KTE hanya diberikan beberapa kewenangan. Pertama,
PT KTE hanya menerima pengalihan hak atas pembelian saham 18 persen tersebut
dari Pemkab Kutim. Baru setelah itu, PT KTE juga diberikan kewenangan penuh
oleh Pemkab Kutim untuk melakukan negosiasi, perundingan, serta perundingan
yang lainnya.
Sejak
adanya perjanjian itulah, seluruh penguasaan dan pengelolaan hal membeli saham
18,6 persen serta pembayaran advance deviden tidak lagi dibayarkan melalui
Pemkab Kutim. Tetapi melalui PT KTE. Peralihan inilah yang membuat PT KPC juga
melakukan pembayaran advance deviden langsung ke PT KTE.
Dalam
catatan itu, PT KPC telah tiga kali melakukan pembayaran advance deviden ke PT
KTE. Pembayaran
pertama pada 7 Desember 2004 dengan nominal Rp 150 juta. Setelah itu PT KPC
kembali membayar pada 26 Agustus 2005 dengan nominal Rp 1 miliar. Terakhir pada
18 Desember 2007 dengan nominal USD 2,250 juta.
PT
KTE yang telah menggantikan kedudukan Pemkab Kutim sebagai pihak pembeli
rupanya tidak memiliki uang sama sekali. Dari sinilah, akhirnya PT KTE melepas
hak atas pembelian saham sebesar 13,6 persen atau setara dengan 40,800 lembar
kepada PT Bumi Resource dengan kompensasi mendapatkan kepemilikan saham PT KPC
sebesar 5 persen atau setara dengan 15,000 lembar saham.
Tetapi,
dalam realisasinya ternyata PT KTE tidak mengatasnamakan Pemkab Kutim dalam
menerima saham sebesar 5 persen itu dari PT KPC. Melainkan atas nama PT KTE
sendiri. Pun dengan deviden yang harusnya diterima Pemkab Kutim tidak diberikan
sepenuhnya.
Atas
kejadian ini, Mujiono dianggap tidak melakukan pencegahan kepada Anung dan
Apidian selaku direksi yang sama sekali tidak berniat mengembalikan saham 5
persen itu kepada Pemkab Kutim.
Padahal,
Mujiono merupakan komisaris PT KTE yang memiliki wewenang untuk mencegah hal
itu. Masih
dalam isi surat dakwaan, Apidian saat itu justru mencari upaya agar saham 5
persen milik Pemkab Kutim dijual. Dengan dalih lebih menguntungkan. Hal ini pun dibahas dalam rapat resmi yang
dihadiri oleh beberapa orang. Salah satunya Awang Faroek Ishak, yang juga
sempat menjadi bupati Kutim. Dalam rapat itu, akhirnya saham 5 persen disepakati untuk dijual.
Hasil
rapat pun langsung ditindaklanjuti oleh Mujiono. Posisinya yang kala itu
merupakan Ketua DPRD Kutim, membuat Mujiono menggelar rapat pleno untuk
membahas menjual saham 5 persen tersebut.
Saat
itu rapat pleno yang berlangsung di ruang kerja Mujiono menghasilkan
kesepakatan bahwa penjualan saham mendapat restu bupati Kutim saat itu, Awang
Faroek Ishak.
Hal
itu dipertegas dengan surat Ketua DPRD yang ditujukan kepada Direktur PT KTE.
Bahkan, surat ini ditembuskan kepada Bupati Kutim yang saat itu masih diemban
oleh Awang Faroek Ishak. Surat Mujiono pun dibalas Awang Faroek Ishak. Dalam
surat itu, bupati meminta agar persetujuan ini bisa dibahas dalam rapat
paripurna oleh DPRD.
Tetapi,
sebelum diparipurnakan oleh DPRD, Mujiono serta anggota DPRD Kutim mengikuti
presentasi yang dilakukan oleh Anung, Apidian, dan Awang Faroek di Kantor DPRD
Kutim terkait rencana penjualan saham tersebut.
Setelah
mendengarkan presentasi, akhirnya DPRD menyetujui langkah penjualan saham 5
persen itu. DPRD pun langsung menggelar rapat paripurna pengesahan rencana
penjualan saham.
Nah,
dari sinilah persoalan muncul. Dengan dalih sudah mendapat restu dari bupati,
saham 5 persen pun dijual kepada PT Kutai Timur Sejahtera dengan harga 63 juta
dolar AS (hampir Rp 600 miliar dengan kurs dolar AS saat itu). Hasil penjualan
saham ini tidak disetorkan sama sekali ke kas daerah. Hasil penjualan
sepenuhnya dikuasai PT KTE.
Pertemuan
kembali dilakukan oleh manajemen PT KTE. Rapat umum pemegang saham (RUPS) pun
digelar.
Rapat
ini juga dihadiri oleh Awang Faroek Ishak yang posisinya saat itu sebagai
Bupati Kutim. Bahkan, Awang Faroek yang memimpin rapat itu. Hasil
RUPS pun melahirkan kembali beberapa kesepakatan. Salah satunya yakni deviden
yang diterima dari PT KPC yang harusnya masuk sepenuhnya ke Pemkab Kutim tidak
terjadi. Dalam rapat yang dipimpin Awang Faroek itu, deviden yang nilainya
mencapai 2,250 juta dolar AS itu hanya memberikan sebesar Rp 10 miliar ke kas
Pemkab Kutim. Sisanya kembali dikelola oleh PT KTE.
Masih
dari hasil RUPS, Anung dan Apidian membuat surat kepada Bupati Kutim tentang
usulan penggunaan dana hasil penjualan saham. Ada
beberapa usulan dalam surat itu. Pertama hasil penjualan akan digunakan untuk
biaya adminitrasi, legal pajak dan transaksi sekitar 7,3 juta dolar AS.
Kemudian, hasil penjualan juga akan digunakan untuk penambahan modal setor
saham ke Bank Kaltim yang nilainya mencapai 19 juta dolar AS.
Baru
setelah itu, hasil penjualan saham juga digunakan untuk pengembangan usaha dan
investasi sebesar 18 juta dolar AS, produk jasa keuangan sebesar 18 juta dolar
AS serta pinjaman usaha kecil menengah sebesar 362 ribu dolar AS.
Rekomendasi
rencana penggunaan dana hasil penjualan saham ini pun kembali ditindaklanjuti
oleh Anung dan Aspidian bersama Awang Faroek Ishak dengan mempresentasikan
kembali di hadapan DPRD Kutim yang ditindaklanjuti dengan surat Direktur Utama
PT KTE.
Atas
surat tersebut, Mujiono yang saat itu selaku Ketua DPRD Kutim lalu membentuk
Pansus Penggunaan Dana Divestasi Saham yang diketuai Agil Suwarno.
Pansus
pun mengeluarkan empat rekomendasi. Yakni, penempatan modal pada Bankaltim
sebesar 15 juta dolar AS, jasa keuangan sebesar 35 juta dolar AS, investasi dan
usaha kecil menengah sebesar 5 juta dolar AS serta biaya pajak, legal dan
operasional sebesar 8 juta dolar AS.
Tetapi
dengan catatan dana untuk Bankaltim dan jasa keuangan yang total nilainya
mencapai 50 juta dolar itu merupakan dana abadi Pemkab Kutim dan tidak
dimasukkan dalam batang tubuh APBD kecuali Pemkab dalam keadaan darurat
keuangan.
Atas
kronologis inilah, Mujiono dianggap bersalah. dirinya dalam surat dakwaan itu
disebut telah membuat negara merugi sebesar Rp 586 miliar. ALI AKBAR, BAYU
ROLLES, SAMARINDA
0 Komentar untuk "Siapa Dalang Aslinya?"