KEPALA Dinas Pertambangan dan
Energi Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Wijaya Rahman, masih mengingat kejadian
pada awal 2010. Suatu siang, seorang utusan Grup Permai, Khalilur R. Abdullah
Sahlawiy alias Lilur, menemuinya di pusat perkantoran Bukit Pelangi, Sangatta,
guna mengurus izin usaha pertambangan batu bara PT Arina Kota Jaya. "Ia
datang sendiri," kata Wijaya, Jumat pekan lalu.
Lilur tak cuma sekali menemui
Wijaya di ibu kota Kabupaten Kutai Timur itu. Sepanjang Januari-Maret 2010, ia
lima kali datang. Wijaya juga pernah bersua dengan Lilur di sebuah kedai kopi
di Jakarta. Setelah Lilur berkali-kali melobinya, Pemerintah Kabupaten Kutai
Timur menerbitkan izin eksplorasi pertambangan batu bara untuk Arina pada 26
Maret 2010.
Konsesi PT Arina berada di area
hutan produksi seluas 10 ribu hektare di perbatasan Kecamatan Bengalon dan
Kecamatan Kongbeng. Di dalamnya terdapat tanaman kopi dan cengkih. Ada pula
kebun warga dan hutan rakyat. Dari akta perusahaan, Wijaya mengetahui pemilik
PT Arina adalah Syarifah dan Nur Fauziah, yang beralamat di Jakarta.
Masing-masing memiliki 50 persen saham perusahaan. "Tidak ada nama Lilur
di situ," ujarnya.
Sebelumnya, Wijaya mengaku tak
mengetahui Ketua Umum Partai Demokrat 2010-2013 Anas Urbaningrum dan Bendahara
Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin adalah pemilik PT Arina. Ia baru
menyadarinya setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksanya sebagai
saksi dalam kasus dugaan korupsi Anas, empat bulan lalu.
Mindo Rosalina Manulang, mantan
anak buah Nazar, mengungkapkan Syarifah dan Nur adalah pegawai Grup Permai
milik bosnya itu. "Mereka di bawah saya," katanya Kamis pekan lalu.
Rosalina juga mengenal Lilur sebagai pegawai Grup Permai. Tapi ia mengaku tak
tahu soal pengurusan izin tambang itu.
Maret lalu, Nazar membeberkan
kepada penyidik KPK bahwa pemilik PT Arina adalah Anas, yang pada waktu
memimpin Demokrat dipanggil "Ketum". Menurut dia, Anas memiliki enam
perusahaan tambang yang tersebar di Kaltim dan Kepulauan Riau. Anas membantah
tudingan Nazar itu.
Keberadaan tambang batu bara
itu penting bagi penyidik karena Anas diduga melakukan tindak pidana pencucian
uang, di antaranya lewat pengurusan izin tambang. Dalam dakwaan yang dibacakan
jaksa Yudi Kristiana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jumat tiga pekan
lalu, Anas ditengarai mengorupsi berbagai proyek pemerintah sejak menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1 Oktober 2009. Proyek tersebut antara
lain pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan olahraga di Bukit Hambalang,
Bogor, Jawa Barat, dan sejumlah proyek di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional pada 2009-2010.
Ia diduga menerima suap hingga
Rp 167 miliar, menerima hadiah satu unit Toyota Harrier seharga Rp 670 juta dan
satu unit Toyota Vellfire seharga Rp 735 juta, serta menerima fasilitas survei
senilai Rp 478 juta. Jaksa Yudi mengatakan fulus itu digunakan untuk
memenangkan Anas menjadi Ketua Umum Demokrat dalam kongres di Bandung pada 2010
serta untuk memuluskan langkah Anas menjadi presiden.
Khusus untuk tambang di Kutai
Timur, kata Yudi, Grup Permai mengeluarkan cek senilai Rp 3 miliar dalam tiga
tahap. Tahap pertama Rp 2 miliar, lalu dua tahap berikutnya masing-masing Rp
500 juta. Dari total dana itu, Grup Permai mengucurkan Rp 600 juta ke Dinas
Pertambangan dan Energi Kutai Timur untuk pengurusan izin dan survei lokasi.
Tapi Wijaya membantah pernah menerima uang dari Grup Permai.
"Pengurusannya gratis."
Anas membantah dakwaan jaksa.
"Aset saya yang disita saya beli dari penghasilan halal setelah berhenti
jadi anggota DPR," katanya Jumat dua pekan lalu. Ia juga menganggap jaksa
berhalusinasi dan mendakwanya secara politik. Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi akan membacakan putusan sela perkara itu Kamis pekan ini.
Kaitan antara Anas dan Nazar
dalam pengurusan izin tambang dibeberkan dalam dakwaan jaksa. Pada awal 2010,
keduanya bertemu dengan Bupati Kutai Timur Isran Noor di Hotel Sultan, Jakarta
Selatan. Lilur dan Gunawan Wahyu Budiarto, pegawai Grup Permai, ikut hadir.
Mereka membincangkan pengurusan izin PT Arina. "Izin usaha pertambangan
itu akan digunakan untuk perusahaan terdakwa," ucap Yudi.
Isran mengakui beberapa kali
bertemu dengan Anas sebagai sesama kader Demokrat. "Saya tidak pernah
bertemu dengan Anas untuk urusan tambang," kata Isran awal bulan lalu.
Karena kasus rasuah ini, area
tambang PT Arina di Kutai Timur mangkrak. Wijaya mengatakan izin eksplorasinya
dibekukan sejak KPK menyitanya. "Perusahaan belum menambang karena harus
ada izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan," ujarnya.
Sebelumnya kepada Gugat,
Kepala Bidang (Kabid) Pertambangan Dinas Pertambangan Kutim Rachmayanti,
menyatakan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang pernah datang
ke Distamben Kutim dan meminta sejumlah data. Bahwa kemudian itu sebagai bukti
di persidangan kasus Anas Urbaningrum, pihaknya tidak mengetahui hal tersebut.
"Nah
jadi kalau ada pertanyaan Rp 3 miliar, itu kami tidak tahu menahu. Kami hanya
bisa memperlihatkan data-datanya. Silakan hal itu kalau menanyakannya ke
Kadistamben atau karena ada nama bupati, langsung ke Pak Isran (Bupati Kutim,
Red)," kata Subianto, sekretaris Distamben Kutim. (tim gugat, tempo)
0 Komentar untuk "Jejak Tambang Sang Ketum di Kutim"