Proses hukum dugaan korupsi dana operasional DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) tahun 2005 senilai Rp 2,67 miliar bak jalan berliku. Enam dari 40 anggota DPRD Kukar periode 2004-2009 sudah dijatuhi putusan pidana oleh Mahkamah Agung (MA) dan dinyatakan bersalah.
Mereka adalah Marwan, Mus Muliadi, Saiful Adwar, Abdul Sani Ambok Pokek, Marthen Apuy, dan Alm. Abu Bakar Has. Mahkamah Agung memvonis kelimanya satu tahun penjara dengan denda Rp 50 juta. Namun, eksekusi belum juga dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kukar.
Tak banyak komentar yang keluar dari mulut Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Kukar Rudi Iskandar saat disinggung perihal pelaksanaan eksekusi. Bagi Kejari Kukar, mengeksekusi kelima terpidana tersebut ibarat makan buah simalakama. Ini lantaran Mahkamah Agung juga memvonis ontslag van alle rechtsvervolging (lepas dari tuntutan hukum) terhadap beberapa terdakwa.
“Bagaimana mau dieksekusi, kalau terpidana sendiri masih keberatan. Sekarang begini contohnya, kita sama-sama anggota dewan, Anda ditahan dan saya dibebaskan, padahal uang yang kita dapat sama besarnya. Apakah Anda terima? Tentu tidak kan!” jelas Rudi kepada Gugat di ruang kerjanya, pekan lalu.
Ia menyarankan Gugat menanyakan langsung permasalahan ini kepada MA yang telah menjatuhkan putusan. “Nah, untuk pertimbangannya, langsung tanyakan ke MA. Kenapa putusannya tidak sama,” ujarnya.
Terpisah, Humas Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong Yudhistira mengatakan untuk mengeksekusi seseorang memang tidak memiliki tenggang waktu yang pasti. Namun kata dia, lebih cepat lebih baik.
“Tidak ada tenggang waktu untuk eksekusi. Tapi memang lebih cepat lebih baik,” katanya. Yudhistira menilai Kejari pasti memiliki pertimbangan-pertimbangan lain mengapa eksekusi belum dilakukan.
“Ya pasti ada pertimbangan, mengapa terpidana belum dieksekusi. Ini bukan karena tidak ada masa tenggang, mungkin Kejari memiliki alasan berupa fakta untuk melaksanakan keputusan,” ujarnya.
Menyinggung putusan MA yang tidak sama, Yudhistira juga menyimpulkan bahwa MA juga memiliki pertimbangan. Menurut dia, MA memiliki Majelis Kasasi yang mungkin memiliki penilaian dari sisi potensi kerugian negara atau alur proses aliran dana yang digelontorkan DPRD.
“MA pasti punya pertimbangan juga. Terutama dari Majelis Kasasi. Kemungkinan-kemungkinan adanya penilaian itu dilihat dari bagaimana potensi kerugian negara. Bisa jadi nominal angka atau proses penggelontoran uang tersebut tidak sama,” ujarnya.
Sekadar mengingatkan, kasus ini menjadi sorotan publik waktu sidang putusan awal November 2011 di peradilan tingkat pertama. Terutama terdakwa yang diadili di Pengadilan Tipikor Samarinda.
Pada beberapa majelis hakim yang menyidangkan 17 terdakwa, terdapat dissenting opinion (perbedaan pendapat). Satu hakim menyatakan bersalah, dua hakim menyatakan ontslag. Akhirnya, keputusan diambil dengan suara terbanyak (skor 2:1).
Begitu pula di MA, terdapat dissenting opinion. Semisal pada putusan perkara Nomor 929 K/Pid.Sus/2012 dengan terdakwa Marwan SP, wakil ketua DPRD Kukar nonaktif yang divonis bersalah dengan skor 3:2.
Komposisi Majelis Hakim MA terdiri dari 3 hakim karier dan dua ad hoc. Yakni, Komariah Emong Supardjadja (ketua majelis), Sri Murwahyuni dan Suhadi selaku hakim karier. Sedangkan hakim ad hoc adalah Krisna Harahap dan Surachmin. Hakim-hakim ad hoc itu yang berpendapat ontslag.
Persoalan disparitas putusan seperti itu, menurut Komisioner Komisi Yudisial (KY) Dr Ibrahim, biasanya disebabkan beberapa faktor. Semisal di antara terdakwa selama menjalani proses persidangan, ada yang tidak kooperatif atau menghambat proses persidangan. Atau bisa jadi ada yang melakukan teror dan ancaman-ancaman.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) lantas mengajukan kasasi dengan alasan majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda dan Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Pertimbangan hakim peradilan tingkat pertama itu hanya melihat pos belanja penunjang kegiatan pimpinan dan anggota DPRD berlandaskan Perbup Kukar Nomor 180.188/HK149/2005, yang tidak pernah dibatalkan. Sehingga perbuatan para terdakwa dinilai menerima uang atas dasar peraturan yang sah.
Sementara itu, MA berpendapat, tempus delicti sebagaimana didakwakan ketika itu telah berlaku UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Benar bahwa anggota DPRD mempunyai hak keuangan dan administratif berdasarkan Pasal 44 UU Nomor 32/2004.
Hak-hak anggota DPRD tersebut juga diatur dalam PP Nomor 24/2004 yang ditetapkan pada 28 Agustus 2004. Benar bahwa perbuatan para terdakwa anggota DPRD Kukar telah dituangkan dalam Perda APBD Kukar 2005, kemudian dijabarkan dalam perbup.
Tetapi berdasarkan temuan BPK, ternyata uang paket sebagaimana diatur dalam perbup tersebut merupakan pembayaran ganda. Seharusnya perbup itu batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti dinyatakan dalam Pasal 136 UU Nomor 34/2004.
Menurut majelis, pengembalian dana yang telah diterima pimpinan dan anggota DPRD tidak menghapuskan kesalahan para terdakwa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 31/1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
YOVANDA, SAMARINDA
Proses hukum dugaan korupsi dana operasional DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) tahun 2005 senilai Rp 2,67 miliar bak jalan berliku. Enam dari 40 anggota DPRD Kukar periode 2004-2009 sudah dijatuhi putusan pidana oleh Mahkamah Agung (MA) dan dinyatakan bersalah.
Mereka adalah Marwan, Mus Muliadi, Saiful Adwar, Abdul Sani Ambok Pokek, Marthen Apuy, dan Alm. Abu Bakar Has. Mahkamah Agung memvonis kelimanya satu tahun penjara dengan denda Rp 50 juta. Namun, eksekusi belum juga dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kukar.
Tak banyak komentar yang keluar dari mulut Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Kukar Rudi Iskandar saat disinggung perihal pelaksanaan eksekusi. Bagi Kejari Kukar, mengeksekusi kelima terpidana tersebut ibarat makan buah simalakama. Ini lantaran Mahkamah Agung juga memvonis ontslag van alle rechtsvervolging (lepas dari tuntutan hukum) terhadap beberapa terdakwa.
“Bagaimana mau dieksekusi, kalau terpidana sendiri masih keberatan. Sekarang begini contohnya, kita sama-sama anggota dewan, Anda ditahan dan saya dibebaskan, padahal uang yang kita dapat sama besarnya. Apakah Anda terima? Tentu tidak kan!” jelas Rudi kepada Gugat di ruang kerjanya, pekan lalu.
Ia menyarankan Gugat menanyakan langsung permasalahan ini kepada MA yang telah menjatuhkan putusan. “Nah, untuk pertimbangannya, langsung tanyakan ke MA. Kenapa putusannya tidak sama,” ujarnya.
Terpisah, Humas Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong Yudhistira mengatakan untuk mengeksekusi seseorang memang tidak memiliki tenggang waktu yang pasti. Namun kata dia, lebih cepat lebih baik.
“Tidak ada tenggang waktu untuk eksekusi. Tapi memang lebih cepat lebih baik,” katanya. Yudhistira menilai Kejari pasti memiliki pertimbangan-pertimbangan lain mengapa eksekusi belum dilakukan.
“Ya pasti ada pertimbangan, mengapa terpidana belum dieksekusi. Ini bukan karena tidak ada masa tenggang, mungkin Kejari memiliki alasan berupa fakta untuk melaksanakan keputusan,” ujarnya.
Menyinggung putusan MA yang tidak sama, Yudhistira juga menyimpulkan bahwa MA juga memiliki pertimbangan. Menurut dia, MA memiliki Majelis Kasasi yang mungkin memiliki penilaian dari sisi potensi kerugian negara atau alur proses aliran dana yang digelontorkan DPRD.
“MA pasti punya pertimbangan juga. Terutama dari Majelis Kasasi. Kemungkinan-kemungkinan adanya penilaian itu dilihat dari bagaimana potensi kerugian negara. Bisa jadi nominal angka atau proses penggelontoran uang tersebut tidak sama,” ujarnya.
Sekadar mengingatkan, kasus ini menjadi sorotan publik waktu sidang putusan awal November 2011 di peradilan tingkat pertama. Terutama terdakwa yang diadili di Pengadilan Tipikor Samarinda.
Pada beberapa majelis hakim yang menyidangkan 17 terdakwa, terdapat dissenting opinion (perbedaan pendapat). Satu hakim menyatakan bersalah, dua hakim menyatakan ontslag. Akhirnya, keputusan diambil dengan suara terbanyak (skor 2:1).
Begitu pula di MA, terdapat dissenting opinion. Semisal pada putusan perkara Nomor 929 K/Pid.Sus/2012 dengan terdakwa Marwan SP, wakil ketua DPRD Kukar nonaktif yang divonis bersalah dengan skor 3:2.
Komposisi Majelis Hakim MA terdiri dari 3 hakim karier dan dua ad hoc. Yakni, Komariah Emong Supardjadja (ketua majelis), Sri Murwahyuni dan Suhadi selaku hakim karier. Sedangkan hakim ad hoc adalah Krisna Harahap dan Surachmin. Hakim-hakim ad hoc itu yang berpendapat ontslag.
Persoalan disparitas putusan seperti itu, menurut Komisioner Komisi Yudisial (KY) Dr Ibrahim, biasanya disebabkan beberapa faktor. Semisal di antara terdakwa selama menjalani proses persidangan, ada yang tidak kooperatif atau menghambat proses persidangan. Atau bisa jadi ada yang melakukan teror dan ancaman-ancaman.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) lantas mengajukan kasasi dengan alasan majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda dan Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Pertimbangan hakim peradilan tingkat pertama itu hanya melihat pos belanja penunjang kegiatan pimpinan dan anggota DPRD berlandaskan Perbup Kukar Nomor 180.188/HK149/2005, yang tidak pernah dibatalkan. Sehingga perbuatan para terdakwa dinilai menerima uang atas dasar peraturan yang sah.
Sementara itu, MA berpendapat, tempus delicti sebagaimana didakwakan ketika itu telah berlaku UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Benar bahwa anggota DPRD mempunyai hak keuangan dan administratif berdasarkan Pasal 44 UU Nomor 32/2004.
Hak-hak anggota DPRD tersebut juga diatur dalam PP Nomor 24/2004 yang ditetapkan pada 28 Agustus 2004. Benar bahwa perbuatan para terdakwa anggota DPRD Kukar telah dituangkan dalam Perda APBD Kukar 2005, kemudian dijabarkan dalam perbup.
Tetapi berdasarkan temuan BPK, ternyata uang paket sebagaimana diatur dalam perbup tersebut merupakan pembayaran ganda. Seharusnya perbup itu batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti dinyatakan dalam Pasal 136 UU Nomor 34/2004.
Menurut majelis, pengembalian dana yang telah diterima pimpinan dan anggota DPRD tidak menghapuskan kesalahan para terdakwa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 31/1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
YOVANDA, SAMARINDA
Admin
May 31, 2014
Admin
Bandung Indonesia
Previous
Hasbullah Seret FahmiRELATED POSTS
Jerat Penipuan Advokat Senior Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE …
Tebusan Mahal Pencurian Hak Siar Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE …
Balada Warga Tapal Batas Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE …
Godaan Uang di Proyek Kenyamukan Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE …
Golkar Baru Rasa Yorrys Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE …
0 Komentar untuk "Jalan Berliku Eksekusi Wakil Rakyat"