Tak
terbantahkan lagi, virus kemaksiatan sudah mewabah di permukaan Balikpapan. Narkoba,
prostitusi, minuman memabukan, bisnis syahwat, semua laku keras. Kalau sudah
begini, rasanya tak pantas predikat Beriman dipertahankan.
SEBENARNYA
tak ada yang salah dengan konsep Beriman, dan tak perlu dibantah. Kata per kata
dari terjemahan akronimnya serba bagus, Bersih-Indah-Aman-Nyaman. Apalagi kata
Beriman itu sendiri terdengar sejuk di hati. Benar-benar cermin kehidupan yang
berlandaskan etika dan norma agama.
Hanya
saja, dalam praktiknya kini, alur relnya telah bergeser. Maka tak heran banyak
pihak yang menggugat slogan Beriman sebaiknya tak digunakan lagi. Percuma
Beriman dipaksakan kalau faktanya sudah berlumur maksiat. Dan pemerintah tak
perlu sungkan untuk merevisinya. Karena langsung atau tidak langsung, geliat
kemaksitan itu terjadi akibat menjamurnya izin tempat hiburan yang dikeluarkan
pemerintah, dan belakangan kerap dijadikan lokasi transaksi birahi.
Contoh
kasus sederhana, dua pekan lalu, polisi merazia BSB Karaoke di Jl. Jenderal
Sudirman. Semua room dan klub, hingga mess karyawan diobrak-abrik, dimana tim
Gugat mengikuti aksi penggeledehan itu. Hasilnya seorang karyawati didapati memiliki
9 butir ekstasi, dan 3 orang lagi positif menggunakan narkoba. Sekarang kasus ini sudah ditangani Polres
Balikpapan.
Apa
yang ditemukan polisi kala itu, bukan tak mungkin terjadi di tempat hiburan
lain. Hanya belum tertangkap tangan oleh polisi. Belum terungkapnya transaksi
narkoba itu bisa karena polisi memang belum membuat jadwal razia ke sana, atau
polisi tidak akan pernah ke sana karena alasan tertentu.
Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Karena sudah jadi rahasia umum,
tempat-tempat hiburan malam di Balikpapan, tak hanya menyiapkan minuman keras
sebagai menu utama, tapi juga layanan seks dan transaksi narkoba. Itu belum
termasuk tempat pusat kebugaran yang menyiapkan layanan pijat "kocok"
secara ilegal.
Memang
tak mudah untuk mendapatkan bukti otentik terkait praktik kemaksiatan di
THM-THM itu. Semua berdalih memiliki izin resmi dari pemerintah, sehingga bebas
menjual miras. Semua berkilah tak "menjual" wanita-wanita penghibur
tamu. Semua menyanggah tak memfasilitasi transaksi narkoba. Tapi ketika diminta
menunjukkan dokumen izin menjual miras, buru-buru berkelit.
Misalnya
saat Gugat datang ke V-Gaz, New Jazz di Jl Jenderal Sudirman dan E-club 89 di
Jl MT Haryono. Ketiganya adalah tempat karaoke dewasa, karena memanjakan tamu
dengan sajian minuman beralkohol tinggi plus ladies-ladies sebagai pemanis. Tim
Gugat hanya ingin mengetahui, apakah tempat hiburan itu sudah mengantongi izin
menjual miras, karena dalam Perda nomor 16 tahun 2002, yang dilegalkan menjual
miras hanya di hotel-hotel berbintang atau tempat yang merupakan fasilitas
hotel. Sementara ketiga karaoke dewasa tadi, secara kasat mata tidak menyatu
dengan hotel.
Jawaban
yang disampaikan Manajer Operasional V-Gaz, Irianto, dirinya tak berani
membeber terkait izin, termasuk izin menjual miras. Dikatakan, yang berhak
berkomentar soal itu tanpa persetujuan atasannya. Meski begitu dirinya tetap
yakin V-Gaz memiliki izin. "Buktinya sampai sekarang kami tetap
beroperasi. Tandanya kami tidak terganjal apa pun," kilahnya.
Fakta
serupa juga ada di New Jazz Karaoke. Para petinggi tempat hiburan itu tak ada
yang mau menemui. Namun dari seorang kepala administrasi diperoleh informasi,
New Jazz juga memiliki izin walau tidak bisa menunjukkan dokumennya. "Sudahlah,
saya tak mau membahas soal izin-izin. Yang jelas kami tetap buka," kata
pria beretnis Tionghoa yang tak mau menyebut namanya itu.
Lalu
di E-club 89, Manajer Operasional Soni saat ditanya soal izin jual miras,
selalu mengalihkan pembicaraaan. Dia beralasan, sebagai manajer baru, belum
mengetahui secara detail tentang perizinan. “Saya masih baru. Saya belum tahu
surat-suratnya,” ungkap dia. Hanya saja, Soni mengatakan jika penjualan
mirasnya sudah sesuai aturan, karena sebentar lagi E-club 89 akan bersanding
dengan hotel yang masih satu owner dengan E-club 89. “Hotel di sebelah itu
punya ownerku juga. Jadi jangan khawatir mbak, kami berizin, dan penjagaan
terkait narkoba terus kami patenkan. Izin miras tidak menyalahi aturan,”
tandasnya.
Nah,
dari gambaran-gambaran tadi, sejatinya para pengelola tempat hiburan tak perlu takut
jika memang memiliki dokumen resmi dari pemerintah. Justru kalau ragu-ragu,
malah memunculkan kecurigaan. Publik malah semakin yakin jika ada sesuatu yang
tak beres. Dan pemerintah pun bisa dituding jadi biang penghancur moral masyarakat
karena memberi ruang kemaksiatan berkembang lewat tempat-tempat hiburan yang
ilegal menjual miras, bahkan narkoba.
Manajer
Islamic Development Centre (IDC) Iskandar Syahuda berpandangan, konsep Kota
Beriman yang dipertegas dengan Madinatul Iman sangat bagus. Apalagi
terjemahannya sudah dibahas saat rapat Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) beberapa tahun silam di era kepemimpinan Imdaad Hamid. Sayangnya
semenjak Balikpapan dipimpin Rizal Effendi, Madinatul Iman terkesan diabaikan.
“Harusnya sudah masuk ke Perda. Tetapi tidak berjalan. Kita mau menggugat soal
Madinatul Iman ini nanti, bagaimana kelangsungannya?,” terang Iskandar.
Iskandar
menegaskan, sejak kepemimpinan Rizal Effendi, visi misinya ingin menjadikan
Balikpapan sebagai kota layak huni karena memiliki potensi pariwisata. Akan
tetapi, Iskandar merasa Balikpapan belum pantas dijadikan kota layak huni.
Pasalnya, masih banyak sisi minus yang belum berhasil distabilkan, termasuk
kemaksiatan.
Sementara
Wakil Ketua DPRD Balikpapan Sukri Wahid mengaku, sudah sering memberi masukan
kepada Wali Kota agar tak lagi mengeluarkan izin untuk tempat hiburan. Tujuannya
jelas, agar potensi kemaksiatan tidak bertambah. Selain itu, untuk THM yang
tenggat izinnya sudah jatuh tempo agar dikaji ulang. Apabila terkena kasus tangkapan
narkoba, sebaiknya tidak diperpanjang izinnya.
"Sorotan masyarakat terhadap kemaksiatan cukup tinggi. Ini harus
jadi perhatian," tegas politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini.
Sebelumnya,
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Balikpapan HM Idris dengan tegas
mengatakan, jika bentuk-bentuk kemaksiatan terus dipelihara, maka Balikpapan
tak pantas lagi menyandang predikat sebagai Kota Beriman. Menurutnya, jika
memang pembangunan Balikpapan diarahkan sebagai kota pariwisata, dimana peredaran
miras dan prostitusi dianggap sebagai faktor penunjangnya, maka secepatnya
slogan Beriman diganti konteks yang lebih tepat. "Jangan kotori Beriman
dengan kemaksiatan," tegasnya. (INDRA NUSWA, ADE MIRANTI, M IDRIS,
YOVANDA)
0 Komentar untuk "Obral Izin THM dan Miras"